Dalam nomenklatur hukum hak asasi manusia, baik yang diatur dalam Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik maupun UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, ia merupakan suatu kondisi (state of nature) yang melekat pada diri internal manusia, berada di level keyakinan, pemahaman, serta laku religi individu, dan tidak dapat diintervensi oleh pihak manapun termasuk Negara.
Aktif atau tidaknya religiusitas warga merupakan bagian dari pilihan individu. Siapapun memiliki kebebasan untuk memilih menjadi religius ataupun tidak tanpa terkecuali.
Dan hal ini merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia, khususnya Hak Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan.
Dalam prinsip hukum hak asasi manusia internasional, hak kebebasan beragama dan berkeyakinan merupakan bagian dari hak-hak negatif (negative rights), di mana agar hak tersebut dapat dinikmati warga, maka Negara wajib untuk tidak melakukan suatu tindakan atau intervensi terhadap warga mengenai keyakinan dan religiusitasnya (Smith dkk: 2008, hlm. 15).
Saat Negara mengintervensi religiusitas warganya, maka pada dasarnya hal tersebut adalah tindakan pemaksaan terhadap warga yang mengarah pada kesewenang-wenangan.
Pada tindakan intervensi -baik melalui hukum dan kebijakan, secara langsung ataupun tidak langsung- memiliki sifat daya paksa secara hukum maupun sosial, warga dianggap harus patuh, dan warga akan terdampak akibat tindakan intervensi tersebut.
Pemaksaan religiusitas terhadap warga inilah yang kemudian menimbulkan pelanggaran hak asasi manusia, di mana warga tidak lagi bebas untuk menentukan dan memilih status maupun kondisi religiusitasnya.
Padahal secara logika dan moral universal, setiap orang, apa pun identitas agamanya, pada dasarnya tidak mau diintervensi religiusitasnya, karena pada prinsipnya agama adalah soal pilihan dan kesadaran, bukan paksaan.
Saat warga bebas memilih apa yang ingin diyakininya dan bagaimana religiusitasnya tanpa intervensi negara, saat itu pula warga menikmati hak kebebasan beragama dan berkeyakinannya.
Selain berpotensi melanggar hak kebebasan beragama dan berkeyakinan, pemaksaan religiusitas warga oleh Pemerintah Kota Depok lewat Perda berpotensi meningkatkan praktik intoleransi.
Berdasarkan riset yang dirilis oleh Setara Institute pada tahun 2021, Kota Depok telah menyandang gelar ‘Kota Paling Intoleran’ di Indonesia.
Artinya pemaksaan religiusitas warga lewat rancangan Perda Penyelenggaraan Kota Religius justru akan semakin meningkatkan kadar status ‘paling intoleran’ pada Kota Depok.
Kemunculan Perda-perda maupun usulan rancangan Perda yang mengatur isu keagamaan dan keyakinan di berbagai daerah merupakan fenomena favoritisme keagamaan sekaligus bagian dari menguatnya sektarianisme dan fundamentalisme keagamaan pascareformasi 1998.
Naasnya, ia dilegitimasi oleh institusi Pemerintahan yang seharusnya bersifat imparsial dan berlandaskan pada semangat Republik (Res Publica).
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.