Kebijakan baru ini sebenarnya merupakan reformulasi batas penerima fasilitas pembebasan PBB agar lebih tepat sasaran, khususnya untuk kepemilikan rumah pada masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).
Pembatasan fasilitas nol PBB pada satu rumah ditujukan untuk menyaring masyarakat ekonomi atas yang punya lebih dari satu rumah, yang umumnya ditujukan bukan untuk dihuni, melainkan sebagai sarana investasi properti dan sumber penghasilan pasif.
Praktik investasi properti seperti ini menjadi salah satu pemicu krisis hunian yang seakan menjadi persoalan tak kunjung terpecahkan di Jakarta.
Meski nantinya tidak lagi menyandang status ibu kota negara, predikat Jakarta sebagai kota dengan kepadatan tertinggi mestinya masih akan terus melekat.
Sebagai analogi, jika dibandingkan dengan Banten, luas Jakarta sebenarnya tidak sampai 10 persen. Namun, jumlah penduduk yang tinggal di kedua provinsi bertetangga ini hampir tidak jauh berbeda.
Di Banten, terdapat 3 juta rumah tangga yang mendiami lahan seluas 966.200 hektare. Sebaliknya di Jakarta, setidaknya ada 2,8 juta rumah tangga mendiami wilayah yang hanya seluas 66.100 hektare.
Arus migrasi masuk Jakarta yang terus positif juga ikut memperpanjang krisis hunian. Meski kepadatan penduduk sudah tinggi, pasca-Lebaran 2024 lalu, Jakarta diperkirakan kedatangan lagi setidaknya 15.000 orang pendatang baru (Harian Kompas, 17/4/2024).
Akibatnya, meski jumlah rumah di Jakarta diperkirakan telah tembus 2 juta unit, angka kekurangan hunian (backlog) diyakini masih tetap tinggi sebanyak 1,3 juta unit (Harian Kompas, 7/8/2023).
Dengan persoalan minimnya lahan yang tidak mencukupi kepadatan penduduk, praktik investasi properti dituding ikut mengurangi jumlah hunian yang tersedia sehingga harga hunian terus melambung tinggi.
Dalam Statistik Perumahan dan Pemukiman 2022, tercatat sebanyak 7,82 persen keluarga nasional memiliki rumah lebih dari satu.
Setidaknya 20 persen di antaranya memiliki rumah yang dibiarkan kosong dan tidak berpenghuni. Padahal, hampir 50 persen rumah tangga di Jakarta belum mempunyai hunian sendiri.
Investasi lahan yasan (real estate) memang menjadi pilihan prospektif karena harga properti yang terus meningkat setiap tahunnya. Namun, investasi seperti ini justru merugikan masyarakat yang benar-benar membutuhkan rumah untuk tempat tinggal.
Bukan hanya di Jakarta, polemik seperti ini juga terjadi di Singapura. Banyaknya warga asing yang berinvestasi di sektor properti, justru membuat penduduk lokal kesulitan memiliki hunian karena harga beli dan sewa rumah semakin tidak terjangkau.
Alhasil, sebagaimana pernah saya bahas dalam artikel “Solusi Fiskal Tangani Krisis Tempat Tinggal” (Kompas.com, 14/6/2023), mengetatkan aturan pajak properti menjadi pendekatan yang diambil pemerintah Singapura untuk menurunkan investasi berlebihan.
Sejak April 2023, pajak atas properti yang dimiliki warga asing naik dua kali lipat, dari semula 30 persen menjadi 60 persen. Selain itu, mulai tahun depan, pemerintah Singapura juga berencana meringankan pajak bagi properti kelas menengah ke bawah.