SEJUMLAH warga Jakarta tampaknya akan kembali mulai dikenakan kewajiban membayar Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB P2). Pasalnya, terdapat perubahan dalam kebijakan yang mengatur pemberian fasilitas pembebasan PBB bagi rumah hunian.
Sebelumnya, kebijakan PBB di Provinsi DKI Jakarta diatur dalam Peraturan Gubernur (Pergub) No. 23/2022. Dalam beleid tersebut, semua rumah tapak milik orang pribadi dengan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) di bawah Rp 2 miliar diberikan fasilitas pembebasan PBB secara penuh.
Sementara untuk rumah yang nilainya Rp 2 miliar atau lebih, fasilitas pembebasan PBB tetap diberikan, namun hanya sebagian untuk tanah seluas 60 meter persegi dan bangunan seluas 36 meter persegi, ditambah pembebasan 10 persen dari sisa PBB yang terutang.
Keringanan tersebut, yang mulai berlaku sejak 2022, digodok kala Jakarta masih berada di bawah kepemimpinan Anies Baswedan. Tujuannya sebagai insentif dalam pemulihan ekonomi masyarakat pascapandemi.
Kebijakan itu sebenarnya merupakan perluasan dari fasilitas pembebasan PBB yang sudah ada sejak 2015.
Pertama kali dikenalkan oleh pemerintahan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok lewat Pergub No. 259/2015, batas nilai rumah yang memperoleh fasilitas masih lebih rendah, hanya sampai Rp 1 miliar. Namun, cakupannya lebih luas karena juga berlaku untuk rumah susun sederhana.
Kini, aturan fasilitas bebas PBB kembali diubah dengan terbitnya Pergub No. 16/2024 pada 30 Mei lalu. Ada perubahan pada batasan rumah yang berhak memperoleh fasilitas bebas PBB secara penuh.
Dalam peraturan anyar itu, fasilitas nol PBB tetap diberikan pada rumah dengan NJOP tidak melebihi Rp 2 miliar, namun dibatasi hanya untuk satu rumah saja per orang.
Jika memiliki lebih dari satu rumah yang nilainya di bawah Rp 2 miliar, pembebasan penuh PBB hanya diberikan pada rumah yang NJOP-nya paling besar.
Selain itu, pemilik rumah juga diharuskan sudah memutakhirkan data Nomor Induk Kependudukan (NIK) pada Sistem Informasi Manajemen (SIM) PBB, dengan menggunakan NIK yang namanya sesuai pemilik pada sertifikat dan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) PBB-P2.
Untuk rumah kedua, ketiga, dan seterusnya yang NJOP-nya tidak melebihi Rp 2 miliar, fasilitas pembebasan pokok PBB tetap diberikan, namun hanya separuhnya saja atau sebesar 50 persen (Harian Kompas, 19/6/2024).
Sebagai ilustrasi, jika seseorang memiliki dua unit rumah dengan NJOP masing-masing sebesar Rp 1,5 miliar dan Rp 1 miliar, Maka pembebasan penuh PBB hanya diberikan pada rumah senilai Rp 1,5 miliar karena nilainya yang paling tinggi.
Sementara untuk rumah yang nilainya Rp1 miliar, PBB akan terutang dengan tarif efektif sebesar 0,2 persen dari NJOP, atau senilai Rp 2 juta jika tidak memperhitungkan NJOP Tidak Kena Pajak (NJOPTKP).
Namun, karena ada fasilitas pembebasan 50 persen, pemilik rumah hanya diwajibkan membayar separuhnya saja atau sebesar Rp 1 juta.
Mayoritas warga Jakarta sebenarnya tidak akan terdampak dari adanya aturan baru ini. Yakni, bagi masyarakat yang hanya punya satu rumah yang nilainya tidak melebihi Rp 2 miliar, atau memiliki satu atau lebih rumah mewah yang nilainya tidak di bawah Rp 2 miliar.