"Kenyataannya beliau bawa atribut parpol," kata Meli.
Atas dasar itu lah, DPRKP meminta arahan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) DKI untuk melarang kegiatan kampanye pada 16 Januari 2019 lalu.
Bawaslu DKI membalas surat itu pada 23 Januari dan menyatakan tak berhak menentukan lokasi reses.
Bawaslu DKI hanya mengingatkan bahwa kegiatan kampanye apapun tak boleh menggunakan gedung atau fasilitas pemerintahan.
DPRKP pun membuat larangan kampanye di rusun lewat Surat Keputusan Kepala Dinas nomor 42 Tahun 2019.
Surat Keputusan itu merujuk pada larangan kampanye melibatkan gedung atau fasilitas pemerintahan yang termaktub dalam Pasal 280 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, serta Pasal 64 ayat (3) Peraturan KPU Nomor 23 Tahun 2018 tentang Kampanye Pemilihan Umum.
Surat Keputusan Kepala Dinas ini dilanjutkan dengan sosialisasi Panwaslu Jakarta Utara kepada para kepala UPRS.
Panwaslu mengingatkan apabila kepala UPRS tidak mengingatkan warga untuk tidak melaksanakan kampanye, maka akan dikenakan Pasal 521 UU Pemilu tentang ancaman pidana penjara dua tahun dengan denda Rp 24 juta bagi pelanggar kampanye.
"Diminta lah kepala UPRS membuat spanduk. Redaksinya juga dibimbing Panwaslu tingkat kota," kata Meli.
Belakangan, Bawaslu DKI menjelaskan bahwa sebenarnya aturan membolehkan kegiatan kampanye di rusun.
Pasalnya, rusun yang dimaksud memang milik pemerintah. Namun rusun tersebut disewa warga.
Dalam Peraturan Bawaslu Nomor 28 Tahun 2018 tentang Pengawasan Kampanye, ada pengecualian larangan kampanye di gedung atau fasilitas pemerintahan.
Pengecualian tersebut berlaku bagi fasilitas atau gedung yang disewakan kepada umum.
"Kami baru saja tahu ada peraturan ini," kata Meli.
Baca juga: Didesak DPRD, DKI Batalkan Larangan Kampanye di Rusunawa
Meli pun menyatakan pihaknya bersepakat dengan DPRD dan Bawaslu untuk membatalkan larangan kampanye di rusunawa.