Begitu pun dengan hand sanitizer. Penjualan tisu basah pun sempat ketiban pulung karena terkurasnya stok hand sanitizer di banyak gerai. Beberapa ritel sampai harus mengendalikan arus pembeli yang begitu deras.
Harga empon-empon, bahan jamu yang diyakini mampu memperkuat kekebalan tubuh, langsung meroket sebab stoknya lekas habis. Bahkan, pedagang minuman jahe gerobakan bisa pulang lebih awal lantaran dagangannya sudah laris sebelum tengah malam.
Di rumah, warga Depok ramai-ramai menimbun persediaan temulawak dan jenis tanaman rimpang lain, jaga-jaga bila stoknya habis di pasaran, walaupun mereka sendiri yang membuatnya kian cepat habis.
Semua potret itu terjadi ketika Kota Depok baru mencatat tiga kasus Covid-19. Hari ini, kasus Covid-19 di Depok sudah tembus 1.500, tepatnya 1.516 kasus. Tertinggi seantero Jawa Barat.
Namun, torehan ini tampaknya belum cukup untuk membangunkan sebagian warga Depok dari mimpi panjang mereka bahwa virus corona tak berbahaya.
Baca juga: [UPDATE] Grafik Covid-19 13 Agustus di Depok: Jumlah Kasus Positif Tembus 1.500, OTG Melonjak
Padahal, angka kematian berkaitan dengan Covid-19 di Depok diperkirakan sudah hampir mencapai 200 korban jiwa, baik pasien positif Covid-19 maupun pasien dalam pengawasan (PDP).
Kota Depok menjadi kota dengan laporan kasus Covid-19 dan pasien meninggal terbanyak di Jawa Barat. Celakanya, “rekor” itu pun ditoreh hanya dengan jumlah pemeriksaan yang sangat minim.
Data harian pemeriksaan Covid-19 berbasis PCR tak pernah dibuka oleh Pemerintah Kota Depok kepada publik, sekalipun beberapa kali diminta oleh wartawan.
Kemarin, Kamis (13/8/2020), justru Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian yang menelanjangi rasio pemeriksaan Covid-19 berbasis PCR di Depok. Ternyata, jumlahnya sangat kecil.
Baca juga: Rasio Tes Covid-19 Sangat Rendah, Tito Karnavian Tegur Wali Kota Depok
Tito bahkan menegur langsung Wali Kota Depok, Mohammad Idris yang mengeklaim ada kemajuan dalam penanggulangan Covid-19 di wilayahnya.
"Nanti dulu, saya mau tanya, sampelnya berapa, 6.578, betul ya, Pak? Sebanyak 6.578 (tes) dari 2 juta (penduduk), ketemunya 0,03 persen. Artinya yang di-sampling, yang diperiksa 0,03 persen, rendah sekali. Itu belum menggambarkan populasi," ujar Tito.
Maksud Tito, Kota Depok hanya melakukan 6.578 pemeriksaan Covid-19 dari total sekitar 2,4 juta penduduk. Jika dirata-rata, jumlah tes hanya mencakup kisaran 0,03 persen warga Depok. Sangat rendah hingga data tersebut tak bisa dijadikan acuan untuk menggambarkan situasi pandemi di Depok.
Bandingkan dengan DKI Jakarta. Sepekan belakangan saja, sudah 45.009 tes yang dilakoni atau hampir 45 persen populasi Ibu Kota. Tak heran bila temuan kasus di Jakarta konsisten lebih dari 300 kasus baru per hari.
Kecilnya kemampuan tes PCR ini berkaitan dengan kemampuan finansial Kota Depok. Kas daerah Kota Depok memang tak seberapa bila dibandingkan dengan DKI Jakarta.
Sebagai contoh, kini Kota Depok hanya mengandalkan Laboratorium Kesehatan Daerah (Labkesda) Kota Depok sebagai satu-satunya laboratorium PCR pemeriksa Covid-19 yang mereka biayai.
Baca juga: Lonjakan Kasus Covid-19 di Depok: Data Pemkot Tak Transparan hingga Disentil Mendagri Tito
Sudah hampir 2 bulan, Pemerintah Kota Depok menyetop pembiayaan tes PCR di Laboratorium RS Brimob dan RS Universitas Indonesia.
Bandingkan dengan DKI Jakarta yang berkolaborasi dengan 54 laboratorium pemerintah, BUMN, dan swasta untuk melacak sebanyak mungkin kasus Covid-19. Pemprov DKI Jakarta bahkan memberikan dukungan biaya tes kepada laboratorium BUMN dan swasta yang ikut berjejaring bersama dalam pemeriksaan sampel program itu.
“Memang (semakin banyak laboratorium pemeriksa Covid-19, semakin baik). Tapi, cari duitnya dulu, ya,” seloroh Kepala Dinas Kesehatan Kota Depok, Novarita, Rabu (12/8/2020).
Dengan tes yang sedikit saja, Kota Depok kini tengah mengalami gelombang kedua kasus Covid-19. Lonjakan demi lonjakan terjadi sejak 2 pekan terakhir, mulai 31 Juli 2020, seperti tampak pada grafik di bawah.