Dana sendiri
Sejak didirikan tahun 1995 oleh Gendu Mulyatip, panti rehabilitasi kejiwaan Yayasan Galuh mencari sumber dana sendiri untuk merawat pasien.
Gendu berjuang menghidupi pasien dengan mengandalkan bantuan keluarga pasien, donatur, dan bantuan tidak tetap dari pemerintah.
Gendu meninggal pada 2011 dan menyerahkan pengelolaan yayasan kepada anaknya, Suhanda.
Tahun 2014, panti yang berdiri di atas lahan seluas 4.000 meter persegi di ujung Gang Bambu Kuning IX itu membangun sejumlah fasilitas baru, seperti bangsal, ruang isolasi, lapangan berlantai beton, dan aula yang juga menjadi ruang makan.
Pembangunan itu sepenuhnya didanai sebuah lembaga sosial yang menjadi donatur tetap.
Namun, yayasan yang dikelola 40 pengurus itu masih kewalahan memenuhi biaya operasional.
Sejumlah pengurus yang diperbantukan untuk merawat pasien hanya digaji Rp 200.000 per bulan.
Kebanyakan donatur memberikan bantuan berupa barang, seperti mesin cuci, televisi, atau meja-kursi.
Pemerintah Kota Bekasi menyumbang sekitar 210 karung atau setara 10,5 ton beras per tahun.
Kebutuhan beras di panti itu untuk makan pasien dan pengurus mencapai 720 karung beras per tahun.
”Memang ada bantuan dana Rp 180 juta dari Kementerian Sosial setiap tahun untuk 200 pasien. Rata-rata setiap pasien mendapat Rp 900.000 per tahun. Nyatanya, biaya operasional yayasan dan makan pasien jauh lebih besar,” ucap Nina.
Persoalan serupa dihadapi panti rehabilitasi kejiwaan Yayasan Jamrud Biru di Jalan Mustikasari, Kecamatan Mustikajaya, Kota Bekasi. Kondisi yayasan yang berdiri sejak tahun 2012 ini lebih memprihatinkan.
Yayasan ini masih mengontrak lahan seluas 700 meter persegi dengan harga Rp 45 juta per tahun.
”Tahun ini kami masih kekurangan uang Rp 15 juta untuk bayar kontrakan,” ucap Suharyono, pendiri dan terafis di Yayasan Jamrud Biru, saat ditemui, Kamis (9/6) lalu.